Thursday, June 12, 2008

BEBASKAN MATEMATIKA DARI MITOS ....???

Bebaskah Matematika dari mitos ? Jawabannya ternyata tidak. Banyak mitos yang dilekatkan kepada Matematika, baik oleh siSwati, mahasiswa, orang tua siSwati/mahasiswa, masyarakat awam, bahkan para pengajar Matematika sekalipun.
Delapan mitos yang dilekatkan kepada Matematika (Buxton, hal 115, 1981), Matematika dipandang sebagai 1) Ilmu yang sudah tertentu, tidak dapat diubah-ubah, dan tidak kreatif (atau Matematika adalah ilmu yang sudah pasti/mate); 2) Abstrak dan tidak berhubungan dengan realita; 3) Hanya dapat dimengerti oleh sedikit orang; 4) Koleksi dari hukum dan fakta yang harus diingat; 5) Sangat tidak logis; 6) Selalu berhubungan dengan kecepatan perhitungan; 7) Sebagai penentu tingkat intelektual seseorang; dan 8) Sebagian besar berhubungan dengan perhitungan.
Ada orang yang mungkin tidak setuju dengan beberapa poin dalam daftar mitos di atas. Poin 5, misalnya. Tapi kita tidak membahas polemik seputar kenapa mitosnya seperti demikian. Dalam tulisan ini, penulis menjelaskan lagi fenomena terbentuknya beberapa mitos di atas, dalam konteks keadaan negara Indonesia.
Budaya penelitian Matematika di Indonesia belum marak dan masih sangat muda jika dibandingkan negara-negara barat. Pendidikan tinggi baru dikenal di bumi nusantara ini setelah didirikannya sekolah dokter di Batavia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Indonesia didirikan setelah kemerdekaan. Berarti tidak ada jurusan Matematika di Indonesia yang berusia lebih dari 50 tahun. Dalam usia yang masih sangat muda untuk tumbuh dan berkembangnya budaya penelitian suatu cabang ilmu pengetahuan, wajar jika budaya tersebut baru berkisar pada beberapa pakar Matematika Indonesia. Belum terbentuk link penelitian Matematika dan belum dihasilkan karya-karya monumental.
Padahal dalam penelitian Matematikalah dapat disaksikan ide-ide segar dan perjuangan. Matematika diutak-atik demi penyelesaian masalah. Contoh kreativitas Matematika adalah penyelesaian masalah Jembatan Konisberg oleh L. Euler. Secara kreatif Euler mengumpamakan daerah yang terbentuk oleh aliran sungai sebagai titik dan jembatan yang menghubungkan daerah tersebut sebagai garis. Permasalahannya bagaimana mencari jalan yang melewati semua daerah dan mencari lintasan yang melewati semua titik.
Politik pemerintah Indonesia turut mendorong terbentuknya mitos di atas. Politik teknologi lompat katak atau zig-zag yang pernah dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru adalah salah satu contohnya. Demi memacu penguasaan teknologi tinggi, dilakukan upaya meniru, merakit, dan memoles hasil-hasil yang telah ada. Penelitian dan hasil-hasil intelektual ilmu-ilmu dasar diabaikan, hanya dijadikan pemenuh rak-rak perpustakaan.
Politik mobil nasional adalah salah satu contoh konkret politik pemerintah seperti itu. Jika kita membuat mobil dengan meniru mobil yang sudah jadi, maka kita tidak memerlukan pembuatan model-model aerodinamis mobil. Berarti pengetahuan Matematika untuk pembuatan model-model aerodinamis tidak kita perlukan.
Tidak pernahnya pengajar Matematika melakukan penelitian mempengaruhi gaya pengajaran. Ia akan memakai sekumpulan rumus Matematika sebagai rangkaian teori saja dan setiap bagiannya tidak berhubungan dengan keadaan nyata. SiSwati atau mahasiswa juga akan mengikuti pengertian pengajarnya. Mereka melihat Matematika sebagai hal abstrak dan hanya dapat dimengerti oleh sebagian kecil orang yang dianggap berbakat. Hal lain yang mereka lakukan dengan menghapalkan Matematika.
Kebanyakan tenaga pengajar berlindung di balik sifat abstrak Matematika sebagai pembenaran atas ketidakmengertian siSwati atau mahasiswa. Padahal tidak selalu sifat abstrak Matematika berarti Matematika tidak berhubungan dengan dunia nyata. Contohnya pada cabang ilmu Geometri. Bentuk-bentuk geometri seperti empat persegi panjang atau tetrahedron adalah bentuk geometris yang berguna bagi bangsa Mesir kuno untuk membuat dam atau piramid. Padahal bentuk-bentuk tersebut abstrak dan tidak terdapat di alam.
Matematika setua dan seiring dengan peradaban manusia. Sejarah ilmu pengetahuan menempatkan Matematika pada bagian puncak hierarki ilmu pengetahuan. Matematika seakan-akan menjadi ratu bagi ilmu pengetahuan. Peletakan yang demikian menimbulkan mitos bahwa Matematika adalah penentu tingkat intelektual seseorang. Jika seseorang tidak mengerti Matematika, maka berarti tidak pintar. Padahal kepintaran seseorang itu bermacam-macam. Ada yang sangat jenius dalam bidang sains. Yang lain jenius dalam bidang seni, namun tidak mengerti Matematika sama sekali.
Mitos yang demikian selanjutnya membentuk mitos-mitos lain. Karena dianggap sebagai penentu intelektual seseorang, Matematika menjadi alat standar untuk tes-tes intelektual atau penempatan. Matematika selalu hadir pada ruang-ruang tes untuk menyeleksi tingkat kemampuan seseorang. Akibatnya Matematika selalu berhubungan dengan penyelesaian yang dibatasi waktu dan melibatkan perhitungan-perhitungan.
Sejarah Matematika membuktikan bahwa banyak persoalan Matematika yang memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, untuk dapat diselesaikan. Teorema Terakhir Fermat (TTF), misalnya, perlu waktu satu abad lebih untuk dapat membuktikannya. Bukti terakhir untuk TTF itupun masih belum diterima semua kalangan matematikawan.
Bisakah Matematika bebas dari mitos ? Untuk masyarakat Indonesia saat ini tampaknya tidak. Perlu pergeseran budaya ke arah budaya meneliti Matematika yang marak dan politik pemerintah yang lebih menekankan pada penelitian ilmu-ilmu dasar. Sedangkan kita tahu, sekarang ini urusan perut dan perebutan kursi kekuasaan lebih menarik perhatian masyarakat dan pemerintah kita.
Hazrul Iswadi: Staf Pengajar Matematika Ubaya
Gerbang, Suplemen Warta Ubaya untuk SMU, Edisi 7, Mei 1999

No comments: