MENCARI KESEIMBANGAN ANTARA AKTIVITAS AKADEMIS
DAN AKTIVITAS NON-AKADEMIS MAHASISWA *
Oleh : A. Kosasih **
Prolog
Dalam menyampaikan permasalahan ini, sama sekali tidak ada pretensi sedikitpun dari penulis untuk bersikap “menggurui” kepada siapapun yang membacanya, terutama kepada mahasiswa angkatan baru. Pada dasarnya kita bersama-sama sedang berusaha untuk terus mencari rumusan yang tepat guna mendapatkan keseimbangan antara tujuan dan harapan. Apa yang akan disampaikan di sini semata-mata hanyalah sebuah tawaran dan ilustrasi singkat berdasarkan pengetahuan dan beberapa pengalaman selama berada di kampus ini. Dan boleh jadi apa yang disampaikan ini tidak selalu sesuai dengan apa yang dialami oleh teman-teman mahasiswa dewasa ini. Paling tidak kami berharap, tulisan ini dapat menjadi semacam acuan tambahan dalam rangka usaha kita menjadi mahasiswa yang berkualitas, intelektual dan sosial, serta akhirnya dapat menjadi sarjana yang sesuai dengan kualifikasi seorang sarjana yang sujana.
Mahasiswa dan Keseimbangan Aktivitas di Kampus
Secara empirik paling tidak ada beberapa hal yang perlu di renungkan dalam rangka usaha mencapai keseimbangan aktivitas seorang mahasiswa terhadap kegiatan akademis dan kegiatan non-akademisnya, sesuai judul di atas. Pertama, adalah masalah kedisiplinan pembagian waktu. Masalah ini sebenarnya merupakan persoalan sepele dan klise, yang jika diabaikan akan berakibat fatal. Seorang mahasiswa sudah selayaknya mempunyai penjadwalan waktu yang cukup tegas dan konsisten dalam mengatur aktivitasnya sehari-hari. Hal ini perlu diingat karena pola belajar di kampus lebih longgar dan bebas dibandingkan ketika di SMA. Demikian pula dengan sejumlah literature yang harus dibaca, di mana tidak semuanya mudah didapatkan dan dicerna dengan baik dalam waktu singkat. Di sisi lain, aktivitas kemahasiswaan secara non-akademis juga sangat kompleks dan cenderung menyita waktu. Selain energi tenaga, juga diperlukan energi pikiran dan biaya, bahkan mungkin perasaan, mengingat kehidupan kampus adalah miniatur masyarakat dan negara serta bangsanya.
Setelah masalah waktu, hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kejelian mahasiswa dalam memilih aktifitas akademik dan non-akademik. Untuk akademik, mahasiswa harus memiliki suatu perencanaan perkuliahan yang cukup matang, mata kuliah apa saja yang sudah, sedang dan akan diambil dalam satu waktu semester, sehingga status kemahasiswaannya di kampus ini menjadi lebih terjamin. Dengan kata lain, mahasiswa juga harus melakukan penyesuaian dengan pola interaksi di kampus, baik dengan dosen maupun dengan rekan-rekan senior maupun rekan seangkatan. Pemilihan mata kuliah ini perlu ditekankan khususnya bagi mereka yang ingin juga berkiprah dalam aktifitas non-akademis.
Untuk aktifitas non-akademik satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa mahasiswa haruslah benar-benar memilih aktifitas organisasi/kegiatan yang menarik minatnya dan yang lebih penting dapat sebagai sarana pengembangan bakat dan minatnya secara lebih dalam. Sehingga diharapkan terjadi suatu peningkatan kualitas dari mahasiswa tersebut sepanjang dia konsisten dan serius dalam menggeluti bidang kegiatannya. Hal ini untuk menghindari dan ini banyak terjadi, seorang mahasiswa mengikuti beraneka ragam kepanitiaan dan kegiatan yang bermacam-macam pula jenjangnya, namun karena tidak melakukan introspeksi diri, maka akhirnya selalu menjadi staf atau seksi tertentu saja. Tidak ada peningkatan pada posisi yang lebih berarti, misalnya menjadi ketua atau jabatan-jabatan strategis lainnya. Kita tidak perlu munafik, keinginan aktualisasi dan eksistensi diri sangat diperlukan oleh mahasiswa dari rekan-rekannya yang lain, walau mungkin cara ini bukan satu-satunya dan bahkan dapat menimbulkan kecenderungan memarginalisasikan pihak lain. Cara peningkatan kualitas model ini bisa diraih dengan melalui usaha dan kemampuan masing-masing individu, sehingga mendapatkan kepercayaan untuk memegang jabatan-jabatan yang lebih tinggi dalam aktifitas kemahasiswaan. Ini bukanlah hal yang remeh, walau memang hanya sedikit kepuasan yang didapatkan di sini, dan jangan sekali-kali mengharapkan keuntungan material dari bentuk aktifitas non-akademis. Namun manfaat secara pribadi, pengalaman, serta wawasan dari kegiatan ini sangatlah penting. Hal ini yang perlu diperhatikan adalah perlunya ketabahan dan keteguhan, baik personal, mental dan emosi. Secara akademik, hal yang perlu diperhatikan karena mahasiswa harus menghadapai pola perkuliahan yang lebih mandiri, bebas, dan individualistis. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya perkuliahan mahasiswa itu hampir secara mutlak ditentukan oleh tindakan akademis mahasiswa yang bersangkutan. Ini akan menjadi masalah jika kemudian mahasiswa itu menghadapi dosen yang “kejam” dan mengalami kelambanan dalam mencerna materi perkuliahan yang disampaikan. Akibatnya mahasiswa harus rajin untuk membaca dan mengolah sendiri materi perkuliahan secara lebih lama dan dalam dibandingkan rekan-rekannya yang lain. Di samping itu mahasiswa harus pula semakin rajin dan ulet menemui staf dosen yang berkompeten dalam rangka mendiskusikan permasalahannya, berikut segala macam kesenangan dan kerewelan dosen yang bersangkutan.
Sementara dalam aktifitas non-akademik, umumnya mahasiswa harus tahan dan gigih menghadapi intrik-intrik dan konflik-konflik dengan individu lain atau kepentingan-kepentingan kelompok/mahasiswa lainnya. Banyak mahasiswa menjadi frustasi dan menghasilkan tindakan kompensasi yang tidak proporsional. Secara ekstrim ada yang bersikap apatis dan selalu minus dalam memandang setiap kegiatan intra kampus, sementara di sisi ekstrim lainnya, mahasiswa menjadi hiperaktif dan agresif sekali. Seolah-olah kampus ini sesuatu yang mutlak miliknya dan dapat diperlakukan seenak dirinya sendiri. Adakalanya pula, seorang mahasiswa sudah “enjoy” dengan aktivitas kesehariannya, tiba-tiba karena sengaja atau tidak, terbentur dengan intrik atau tekanan pihak lain, menjadi patah arang dan mundur dari aktivitas itu. Padahal dengan sedikit perjuangan, dirinya akan menjadi orang yang cukup berarti di kegiatan tersebut. Umumnya mahasiswa seperti ini akan mencari kegiatan lain sekedar pelarian. Padahal kurang arif jika seorang mahasiswa tidak mau dihimpit oleh krisis dan tekanan seperti itu, sebab apa yang orang sering bilang dengan kematangan diri, akan muncul kepribadian dan sikap untuk bersedia memahami sesuatu dengan proporsional.
Di sisi lain, perlu diperhatikan pula pola pergaulan sosial di kampus tersebut. Para mahasiswa sebaiknya memang segera mengetahui pola pergaulan di kampusnya masing-masing, dari unit terkecil hingga terbesar. Dan ini hanya bisa terpecahkan, jika mahasiswa berusaha membuka diri satu sama lain dalam wacana dialog yang dinamis. Hubungan struktural atau hirarki organisasi dari masing-masing lembaga kemahasiswaan yang ada, akan tumbuh harmonis bilamana tercipta suasana kompetitif yang sehat.
Mahasiswa dan Pengetahuan Organisasinya
Pengetahuan berorganisasi sebagai proses belajar memberikan arah agar setiap orang (pelaku organisasi) mengembangkan kemampuannya secara terus menerus untuk mencapai prestasi yang diinginkan, dengan cara selalu memelihara pemikiran yang baru, dan mengembangkan aspirasi kelembagaannya secara bebas, serta meningkatkan pengetahuannya secara bersama.
Secara kontekstual berorganisasi selalu dikaitkan dengan aktivitas di luar kegiatan sehari-hari. Karena itu pengalaman berorganisasi dapat mendorong kita untuk menghayati “arti/makna” hubungan manusia dengan hal-hal di luar dirinya selaku pribadi. Mengingat organisasi adalah suatu kerja bersama dengan tujuan yang sama.
Organisatoris yang baik adalah jika setiap pelakunya dapat menemukan jatidirinya dalam ikatan/komitmen bersama serta mampu mempelajari ruang lingkup tugasnya. Setiap pelaku organisasi dapat menjadi siswa yang baik untuk kemudian mempelejari dan mengetahui kehidupan organisasinya. Hal itu dimaksudkan agar para pelaku mengerti, bahwa setiap orang yang melebur diri bersama dalam organisasi itu saling percaya satu sama lain.
Di samping itu, masing-masing pelaku berupaya saling melengkapi kemampuan satu sama lain, agar setiap kemampuan itu dapat menghasilkan prestasi yang lebih baik. Jangan kita menunggu perintah dari orang/atasan untuk memperbaiki pola kerja yang sudah ada garis pedomannya. Sebaiknya setiap pelaku harus dapat bekerja berdasarkan strategi besar yang telah ditetapkan sesuai kemampuan dan kecerdasannya (the right man in the right place).
Epilog
Berdasarkan kerangka pemahaman organisasi di atas, seorang aktivis kampus hendaknya mampu mempedomi, bahkan mengatur setiap aktivitasnya secara terbuka dan mengandung dasar rasionalitas yang tinggi. Sejauh ia mampu memberikan solusi-solusi yang tepat dalam memilih bentuk aktivitasnya di kampus. Misalnya, seseorang yang memegang ketua atau koordinator suatu bidang tertentu, hendaknya ia bisa memaknai hak dan tanggungjawabnya serta konsekwensi yang mungkin timbul sebagai akibat kekuarangan dari realisasi pelaksanaan yang telah diprogram atau disusun secara organis. Banyak dijumpai seseorang yang memiliki kewenangan tertentu, tapi tidak banyak atau mampu memberikan kontribusi yang sesuai dengan kewenangan yang dipegangnya. Sudah-sudah hanya menjadi pelaksana atau operator yang mengikuti garis perintah, tanpa pernah bisa menjalankan prinsip-prinsipnya di dalam berorganisasi.
Salam Mahasiswa !
* Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas BEM UNINDRA bekerjasama dengan UKM Media Kampus. Sabtu, 09 Oktober 2004
DAN AKTIVITAS NON-AKADEMIS MAHASISWA *
Oleh : A. Kosasih **
Prolog
Dalam menyampaikan permasalahan ini, sama sekali tidak ada pretensi sedikitpun dari penulis untuk bersikap “menggurui” kepada siapapun yang membacanya, terutama kepada mahasiswa angkatan baru. Pada dasarnya kita bersama-sama sedang berusaha untuk terus mencari rumusan yang tepat guna mendapatkan keseimbangan antara tujuan dan harapan. Apa yang akan disampaikan di sini semata-mata hanyalah sebuah tawaran dan ilustrasi singkat berdasarkan pengetahuan dan beberapa pengalaman selama berada di kampus ini. Dan boleh jadi apa yang disampaikan ini tidak selalu sesuai dengan apa yang dialami oleh teman-teman mahasiswa dewasa ini. Paling tidak kami berharap, tulisan ini dapat menjadi semacam acuan tambahan dalam rangka usaha kita menjadi mahasiswa yang berkualitas, intelektual dan sosial, serta akhirnya dapat menjadi sarjana yang sesuai dengan kualifikasi seorang sarjana yang sujana.
Mahasiswa dan Keseimbangan Aktivitas di Kampus
Secara empirik paling tidak ada beberapa hal yang perlu di renungkan dalam rangka usaha mencapai keseimbangan aktivitas seorang mahasiswa terhadap kegiatan akademis dan kegiatan non-akademisnya, sesuai judul di atas. Pertama, adalah masalah kedisiplinan pembagian waktu. Masalah ini sebenarnya merupakan persoalan sepele dan klise, yang jika diabaikan akan berakibat fatal. Seorang mahasiswa sudah selayaknya mempunyai penjadwalan waktu yang cukup tegas dan konsisten dalam mengatur aktivitasnya sehari-hari. Hal ini perlu diingat karena pola belajar di kampus lebih longgar dan bebas dibandingkan ketika di SMA. Demikian pula dengan sejumlah literature yang harus dibaca, di mana tidak semuanya mudah didapatkan dan dicerna dengan baik dalam waktu singkat. Di sisi lain, aktivitas kemahasiswaan secara non-akademis juga sangat kompleks dan cenderung menyita waktu. Selain energi tenaga, juga diperlukan energi pikiran dan biaya, bahkan mungkin perasaan, mengingat kehidupan kampus adalah miniatur masyarakat dan negara serta bangsanya.
Setelah masalah waktu, hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kejelian mahasiswa dalam memilih aktifitas akademik dan non-akademik. Untuk akademik, mahasiswa harus memiliki suatu perencanaan perkuliahan yang cukup matang, mata kuliah apa saja yang sudah, sedang dan akan diambil dalam satu waktu semester, sehingga status kemahasiswaannya di kampus ini menjadi lebih terjamin. Dengan kata lain, mahasiswa juga harus melakukan penyesuaian dengan pola interaksi di kampus, baik dengan dosen maupun dengan rekan-rekan senior maupun rekan seangkatan. Pemilihan mata kuliah ini perlu ditekankan khususnya bagi mereka yang ingin juga berkiprah dalam aktifitas non-akademis.
Untuk aktifitas non-akademik satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa mahasiswa haruslah benar-benar memilih aktifitas organisasi/kegiatan yang menarik minatnya dan yang lebih penting dapat sebagai sarana pengembangan bakat dan minatnya secara lebih dalam. Sehingga diharapkan terjadi suatu peningkatan kualitas dari mahasiswa tersebut sepanjang dia konsisten dan serius dalam menggeluti bidang kegiatannya. Hal ini untuk menghindari dan ini banyak terjadi, seorang mahasiswa mengikuti beraneka ragam kepanitiaan dan kegiatan yang bermacam-macam pula jenjangnya, namun karena tidak melakukan introspeksi diri, maka akhirnya selalu menjadi staf atau seksi tertentu saja. Tidak ada peningkatan pada posisi yang lebih berarti, misalnya menjadi ketua atau jabatan-jabatan strategis lainnya. Kita tidak perlu munafik, keinginan aktualisasi dan eksistensi diri sangat diperlukan oleh mahasiswa dari rekan-rekannya yang lain, walau mungkin cara ini bukan satu-satunya dan bahkan dapat menimbulkan kecenderungan memarginalisasikan pihak lain. Cara peningkatan kualitas model ini bisa diraih dengan melalui usaha dan kemampuan masing-masing individu, sehingga mendapatkan kepercayaan untuk memegang jabatan-jabatan yang lebih tinggi dalam aktifitas kemahasiswaan. Ini bukanlah hal yang remeh, walau memang hanya sedikit kepuasan yang didapatkan di sini, dan jangan sekali-kali mengharapkan keuntungan material dari bentuk aktifitas non-akademis. Namun manfaat secara pribadi, pengalaman, serta wawasan dari kegiatan ini sangatlah penting. Hal ini yang perlu diperhatikan adalah perlunya ketabahan dan keteguhan, baik personal, mental dan emosi. Secara akademik, hal yang perlu diperhatikan karena mahasiswa harus menghadapai pola perkuliahan yang lebih mandiri, bebas, dan individualistis. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya perkuliahan mahasiswa itu hampir secara mutlak ditentukan oleh tindakan akademis mahasiswa yang bersangkutan. Ini akan menjadi masalah jika kemudian mahasiswa itu menghadapi dosen yang “kejam” dan mengalami kelambanan dalam mencerna materi perkuliahan yang disampaikan. Akibatnya mahasiswa harus rajin untuk membaca dan mengolah sendiri materi perkuliahan secara lebih lama dan dalam dibandingkan rekan-rekannya yang lain. Di samping itu mahasiswa harus pula semakin rajin dan ulet menemui staf dosen yang berkompeten dalam rangka mendiskusikan permasalahannya, berikut segala macam kesenangan dan kerewelan dosen yang bersangkutan.
Sementara dalam aktifitas non-akademik, umumnya mahasiswa harus tahan dan gigih menghadapi intrik-intrik dan konflik-konflik dengan individu lain atau kepentingan-kepentingan kelompok/mahasiswa lainnya. Banyak mahasiswa menjadi frustasi dan menghasilkan tindakan kompensasi yang tidak proporsional. Secara ekstrim ada yang bersikap apatis dan selalu minus dalam memandang setiap kegiatan intra kampus, sementara di sisi ekstrim lainnya, mahasiswa menjadi hiperaktif dan agresif sekali. Seolah-olah kampus ini sesuatu yang mutlak miliknya dan dapat diperlakukan seenak dirinya sendiri. Adakalanya pula, seorang mahasiswa sudah “enjoy” dengan aktivitas kesehariannya, tiba-tiba karena sengaja atau tidak, terbentur dengan intrik atau tekanan pihak lain, menjadi patah arang dan mundur dari aktivitas itu. Padahal dengan sedikit perjuangan, dirinya akan menjadi orang yang cukup berarti di kegiatan tersebut. Umumnya mahasiswa seperti ini akan mencari kegiatan lain sekedar pelarian. Padahal kurang arif jika seorang mahasiswa tidak mau dihimpit oleh krisis dan tekanan seperti itu, sebab apa yang orang sering bilang dengan kematangan diri, akan muncul kepribadian dan sikap untuk bersedia memahami sesuatu dengan proporsional.
Di sisi lain, perlu diperhatikan pula pola pergaulan sosial di kampus tersebut. Para mahasiswa sebaiknya memang segera mengetahui pola pergaulan di kampusnya masing-masing, dari unit terkecil hingga terbesar. Dan ini hanya bisa terpecahkan, jika mahasiswa berusaha membuka diri satu sama lain dalam wacana dialog yang dinamis. Hubungan struktural atau hirarki organisasi dari masing-masing lembaga kemahasiswaan yang ada, akan tumbuh harmonis bilamana tercipta suasana kompetitif yang sehat.
Mahasiswa dan Pengetahuan Organisasinya
Pengetahuan berorganisasi sebagai proses belajar memberikan arah agar setiap orang (pelaku organisasi) mengembangkan kemampuannya secara terus menerus untuk mencapai prestasi yang diinginkan, dengan cara selalu memelihara pemikiran yang baru, dan mengembangkan aspirasi kelembagaannya secara bebas, serta meningkatkan pengetahuannya secara bersama.
Secara kontekstual berorganisasi selalu dikaitkan dengan aktivitas di luar kegiatan sehari-hari. Karena itu pengalaman berorganisasi dapat mendorong kita untuk menghayati “arti/makna” hubungan manusia dengan hal-hal di luar dirinya selaku pribadi. Mengingat organisasi adalah suatu kerja bersama dengan tujuan yang sama.
Organisatoris yang baik adalah jika setiap pelakunya dapat menemukan jatidirinya dalam ikatan/komitmen bersama serta mampu mempelajari ruang lingkup tugasnya. Setiap pelaku organisasi dapat menjadi siswa yang baik untuk kemudian mempelejari dan mengetahui kehidupan organisasinya. Hal itu dimaksudkan agar para pelaku mengerti, bahwa setiap orang yang melebur diri bersama dalam organisasi itu saling percaya satu sama lain.
Di samping itu, masing-masing pelaku berupaya saling melengkapi kemampuan satu sama lain, agar setiap kemampuan itu dapat menghasilkan prestasi yang lebih baik. Jangan kita menunggu perintah dari orang/atasan untuk memperbaiki pola kerja yang sudah ada garis pedomannya. Sebaiknya setiap pelaku harus dapat bekerja berdasarkan strategi besar yang telah ditetapkan sesuai kemampuan dan kecerdasannya (the right man in the right place).
Epilog
Berdasarkan kerangka pemahaman organisasi di atas, seorang aktivis kampus hendaknya mampu mempedomi, bahkan mengatur setiap aktivitasnya secara terbuka dan mengandung dasar rasionalitas yang tinggi. Sejauh ia mampu memberikan solusi-solusi yang tepat dalam memilih bentuk aktivitasnya di kampus. Misalnya, seseorang yang memegang ketua atau koordinator suatu bidang tertentu, hendaknya ia bisa memaknai hak dan tanggungjawabnya serta konsekwensi yang mungkin timbul sebagai akibat kekuarangan dari realisasi pelaksanaan yang telah diprogram atau disusun secara organis. Banyak dijumpai seseorang yang memiliki kewenangan tertentu, tapi tidak banyak atau mampu memberikan kontribusi yang sesuai dengan kewenangan yang dipegangnya. Sudah-sudah hanya menjadi pelaksana atau operator yang mengikuti garis perintah, tanpa pernah bisa menjalankan prinsip-prinsipnya di dalam berorganisasi.
Salam Mahasiswa !
* Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas BEM UNINDRA bekerjasama dengan UKM Media Kampus. Sabtu, 09 Oktober 2004
1 comment:
Mahasiswa...
Antara Idealisme dan Kebutuhan...
Pilih yang mana yach...
Semangat Bung..
Post a Comment