Pengalaman ini dikisahkan dari seorang ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliahnya. Kelas terakhir yang harus dia ambil adalah sosiologi. Sang dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling". Seluruh siswa diminta untuk pergi keluar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya, dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas.
Ibu itu adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, dia pikir, tugas ini sangatlah mudah. Setelah menerima tugas tsb, dia bergegas menemui suaminya dan anak bungsunya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suaminya akan masuk dalam antrian, dia menyela dan meminta agar suaminya saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.
Ketika ibu itu sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian. Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakangnya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil!
Ibu itu bingung,dan tidak mampu bergerak sama sekali. Ketika dia menunduk, tanpa sengaja matanya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" ke arahnya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam,tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arahnya, seolah ia meminta agar ibu itu dapat menerima 'kehadirannya' di tempat itu. Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan ibu itu membalas senyumnya, dan seketika teringat olehnya 'tugas' yang diberikan oleh dosennya.
Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Ibu itu segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"-nya. Ibu itu merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal dia bersama mereka,dan mereka bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin dipesannya, Ibu itu mempersilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka(sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba2 saja ibu itu diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpau beberapa saat, sambil matanya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka... Pada saat yang bersamaan, ibu itu baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke dirinya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan'-nya. Ibu itu baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapanya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin dia pesan.
Ibu itu tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanannya) dalam nampan terpisah. Setelah membayar semua pesanan, dia minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanannya ke meja/tempat duduk suami dan anaknya. Sementara ibu itu membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Ibu itu meletakkan nampan berisi makanan itu di atas meja mereka, dan meletakkan tangannya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil ibu itu berucap: "Makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."Kembali mata biru itu menatap dalam ke arahnya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya".
Ibu itu mencoba tetap menguasai dirinya, sambil menepuk bahu mereka, ibu itu berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian". Mendengar ucapannya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali ibu itu merengkuh kedua lelaki itu. Ibu itu sudah tidak dapat menahan tangis ketika dia berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anaknya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.
Ketika ibu itu duduk, suaminya mencoba meredakan tangisnya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak2ku!" Mereka saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu mereka benar2 bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah mereka telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika mereka sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja mereka, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan mereka. Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan ibu itu, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami". Ibu itu hanya bisa berucap "terima kasih" sambil tersenyum.
Sebelum beranjak meninggalkan restoran, ibu itu menyempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin mereka, mereka langsung menoleh ke arahnya sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arahnya. Dalam perjalanan pulang ibu itu merenungkan kembali apa yang telah dia lakukan terhadap kedua orang tuna wisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir olehnya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepadanya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali! Ibu itu kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangannya. Ibu itu menyerahkan 'paper' kepada dosennya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya ibu itu dipanggil dosennya ke depan kelas, ia melihat kepadanya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati ibu itu mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan papernya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi.
No comments:
Post a Comment