Wednesday, September 15, 2010

Mengasah Konsistensi Diri

Konsistensi diri, apabila dijabarkan secara etimologis dapat dirangkum dengan definisi sebagai bentuk ketetapan hati, kesungguhan dan juga "kepemilikan" terhadap sejumlah prinsip-prinsip dalam kehidupan yang terpatri dan menjadi pedoman dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Konsistensi diri, dewasa ini menjadi sesuatu yang langka dan jarang terjadi dalam dunia nyata. Dinamika kehidupan membuat "banyak" orang "menjual" prinsip dan akhirnya larut serta hanyut dalam aliran kehidupan yang demikian deras mengguncang kehidupan seseorang.
Contoh yang banyak ditemui sementara ini adalah dalam dunia politik. Hal ini sehubungan dengan adanya beberapa rekan saya yang sekarang telah "sukses" menjadi wakil rakyat yang terhormat. Di masa-masa lalu (saat dalam pendidikan), mereka adalah orang yang bersuara lantang mengkritisi jalannya pemerintahan dan berusaha mengganti kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dengan idealisme mereka yang sangat pro rakyat. Akan tetapi, sekarang, saat mereka menjadi bagian pemerintah, idealisme tersebut hilang, bahkan tidak meninggalkan bekas sama sekali. Fakta ini menunjukkan betapa mudahnya konsistensi dan prinsip hidup tergadaikan hanya karena berubah status, dari yang diperintah menjadi pemerintah.
Sebaliknya, beberapa orang yang dahulu dikenal sebagai manusia yang baik, taat beribadah dan menjadi tokoh dalam masyarakat, terlibat hal-hal kriminal, yang tidak pernah diduga oleh masyarakat. Hal ini apabila ditelaah lebih jauh, biasanya dikarenakan karena kepuasan pribadi dan juga masalah uang.
Dua hal di atas, yaitu mereka yang dahulu memiliki idealisme tinggi kemudian berubah menjadi "apatis" dan mereka yang dahulu baik kemudian berubah menjadi penjahat, adalah contoh inkonsistensi dalam kehidupan. Apa yang menyebabkan semua ini? Apa yang salah dengan dunia pendidikan hingga mengakibatkan munculnya semua ini? Adakah kurikulum atau pelajaran khusus yang bisa mempertahankan konsistensi seseorang?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya ingin mencoba menggali kepedulian dan peran serta dari seluruh masyarakat Indonesia, seberapa besar kontribusi kita terhadap perbaikan kualitas manusia Indonesia.
Sedikit mengutip pernyataan dari sang super motivator, Mario Teguh yang mengatakan, "Jika kita tidak bisa bahagia, setidaknya berusahalah membahagiakan orang lain." Apabila saya mencoba sedikit "memaksakan" membuat analogi, kira-kira demikian bunyinya, "Jika kita tidak bisa konsisten, setidaknya berusahalah membuat orang lain konsisten." It is true..?? Sepertinya analogi ini salah, karena kita tidak bisa memaksa orang lain konsisten saat kita sendiri tidak bisa konsisten. Intinya, mulailah dari diri kita sendiri, berusahalah menjadi konsisten dan milikilah keteguhan hati. Dari sanalah muncul keteladanan dan integritas.
Salam

No comments: