Sunday, November 10, 2013

Cara Makan Kue Versi Timor Leste

Tulisan ini saya peroleh dari e-mail seorang pakar Matematika di ITB, yang juga merupakan anggota Indo-MS atau Indonesian Mathematical Society. Dan atas izin beliau, tulisan ini saya posting dalam blog ini, supaya dapat mendistribusikan ide brilian untuk kemajuan bangsa Indonesia. Terima kasih pak M. Syamsudin (http://personal.fmipa.itb.ac.id/msyamsuddin/about/)

-----------------------------------------------------------------------

Cara makan kue menjadi urusan penting manakala kuenya sebesar
cadangan minyak yang dimiliki oleh suatu negara. Cara makan
kue ini tiba-tiba menjadi pelik manakala sudah disadari bahwa
sesungguhnya kue tadi adalah milik seluruh generasi, bukan
hanya milik generasi sekarang.

Dengan demikian masalah makan kue di dalam ilmu ekonomi berada
di bawah topik intertemporal choice. Persoalannya, akan dicari
dan diputuskan seberapa besar kue yang akan dimakan oleh
generasi sekarang dan seberapa besar kue yang akan dimakan oleh
generasi-generasi yang akan datang. Kriteria pembagian kuenya
adalah bahwa semua generasi menjadi sejahtera dengan memakan
kuenya masing-masing secara optimal. Tidak ada generasi yang
dirugikan.

Bagaimana cara Indonesia memakan kuenya?

Di Indonesia kue diperlakukan seperti milik generasi sekarang
saja. Akibatnya, kue yang sudah terhidang akan habis seketika
dimakan oleh generasi sekarang. Sekali kue sudah tersaji,
tidak akan tersisa untuk generasi-generasi yang akan datang.

Bagaimana cara melihatnya?

Setiap kali kue (minyak, gas dll.) terhidang, kue tersebut akan
langsung dimasukkan ke dalam APBN. Dana APBN harus dihabiskan
pada tahun anggaran itu pula. Entah dengan cara apapun untuk
menghabiskannya. Yang penting kue harus habis dimakan sekarang.
Semakin cepat suatu lembaga memakan kuenya, semakin dipuji ia
sebagai lembaga yang baik karena sanggup menyerap anggaran
dengan
cepat.

Lebih hebat lagi manakala generasi sekarang diberi insentif
untuk terburu-buru menghabiskan kuenya. Insentifnya berupa
subsidi BBM. Insentif ini seolah bilang: ‘Ayo cepat-cepat
saja habiskan kuenya sekarang juga’. Maka akan semakin cepat
habis kue yang terhidang untuk dimakan oleh generasi sekarang
saja.

Jatah kue buat cucu-cicit kita yang belum lahir pun sudah buru-
buru kita makan sekarang juga. Cucu kita mungkin hanya bisa
terbengong-bengong menyaksikan kerakusan kakek-neneknya.
Sementara piring mereka tetap kosong, tak tersisa lagi jatah
kue untuk dimakan mereka.

Masalah menjadi semakin runyam manakala nilai subsidi BBM
ternyata lebih besar dari pendapatan pemerintah yang diperoleh
dari minyak. Bila ini yang telah terjadi, malah kita sebetulnya
berada di posisi sedang hutang kue. Jadi kelak di piring cucu
kita tidak akan ditemui jatah kue mereka dan malahan mereka
harus menanggung beban hutang yang diperbuat oleh kerakusan
kakek-neneknya. Apakah kita telah berlaku adil terhadap
anak-cucu-cicit kita sendiri?

Adakah alternatif lain cara makan kue?

Mungkin ada. Kebetulan saja yang akan dijadikan ilustrasi adalah
negara Timor-Leste. Penghasilan Timor-Leste dari minyak tidak
langsung masuk APBN. Penghasilan tersebut ditaruh dulu di
Petroleum Fund. Ini merupakan sebuah lembaga yang akan mengelola
kekayaan negara yang berasal dari minyak (Timor-Leste’s Sovereign
Wealth Fund). Sampai bulan Juli 2013 dana ini terkumpul sebesar
US$14 milyar.

Pemerintah Timor-Leste baru pertama kali menggunakan dana ini
pada bulan Juli 2013 dan besarnya hanya US$180 juta, ini sekitar
1.3% saja dari US$14 milyar tadi. Bila langkah serupa ini bisa terus
dipertahankan, ini tentu langkah yang sangat bijaksana. Itu artinya
pemerintah Timor-Leste sangat mempertimbangkan pengelolaan kue untuk
generasi-generasi yang akan datang. Kue tidak cepat-cepat dihabiskan
oleh generasi sekarang saja. Ini masalah sustainability, tidak lagi
sekedar optimality.

Informasi tentang hal ini bisa dilihat pada halaman 128-129 dari
referensi berikut:

http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/region/
eap-update-october-2013.pdf.

Lebih hebat lagi, tidak ada subsidi BBM di Timor-Leste. Bensin
dijual dengan harga US$1.4. (seiktar Rp15.000,-) per liter.
Andaikan pemerintah Timor-Leste memberikan subsidi BBM untuk
masyarakatnya, tentulah dana subsidinya akan diambilkan dari
Petroleum Fund. Bila hal itu terjadi, maka pemerintah Timor-
Leste akan dinilai sangat tega mengambil jatah milik generasi
yang akan datang untuk diberikan kepada generasi sekarang.
Untunglah pada kenyataannya hal itu tidak terjadi (atau belum
terjadi?).

Persoalan yang pelik sejenis ini memang selayaknya ditangani
dengan hati-hati. Salah satu bentuk kehati-hatian bisa terungkap
bila persoalan tersebut diformulasikan dan dipecahkan dulu dengan
matematika. Dari model ini, kelak bisa diketahui seberapa besar
jatah kue untuk generasi sekarang dan seberapa besar jatah kue
untuk generasi-generasi yang akan datang.

Alat yang paling cocok untuk ini adalah dynamic programming karena
persoalan makan kue termasuk ke dalam permasalahan optimasi antar
generasi (intertemporal optimization). Cake-Eating Problem memang
biasanya akan dijadikan alat peraga bagi kuliah tersebut. Memang
sesungguhnyalah dynamic programming merupakan alat utama bagi
yang ingin belajar advance macroeconomics di program studi S3 ilmu
ekonomi.

Bagi yang berminat bisa melihat paper karya Partha Dasgupta dan
Geoffrey Heal yang berjudul The Optimal Depletion of Exhaustible
Resources di The Review of Economic Studies, Vol. 41, 1974. Ini
model matematika di perioda awal dalam membahas tentang Cake-Eating
Problem yang diimplementasikan untuk masalah pengalokasian natural
resources, terutama yang non-renewable. Bila anda cukup beruntung,
paper ini bisa diunduh di internet.

Semoga bermanfaat.

--------------------------------------------------------

Tulisan ini juga telah dipublish dalam KOMPASIANA.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/11/09/cara-makan-kue-versi-timor-leste-606596.html

1 comment:

Unknown said...

Great! Love this kind of posts because you end up knowing more people and find out great inspiration! Online Travel Agencies Makasih